Friday, 2 March 2012

PPH : PERUBAHAN


SubjekPajak
1.    Mempertegas pengertian Bentuk Usaha Tetap khususnya untuk bidang usaha pertambangan Migas yang menganut ring-fencing policy.  Hal tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Undang-undang Migas yang mengatur bahwa setiap wilayah kerja pertambangan harus Dikelola oleh sebuah badan hukum.
2.    Memperluas pengertian Bentuk Usaha Tetap sehingga meliputi gudang. Perubahan ini untuk memperluas hak pemajakan dengan menegaskan bahwa gudang yang dimiliki Wajib Pajak  (WP) luar negeri merupakan Bentuk Usaha Tetap.
3.    Memperluas pengertian Bentuk Usaha Tetap meliputi, dedicated server/peralatan elektronik menjalankan usaha secara elektronis. Hal ini untuk memperluas hak pemajakan atas penghasilan WP luar negeri yang bersumber dari Indonesia yang diperoleh melalui kegiatan usaha atau transaksi secara on-line/internet

4.    Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 terhadap WP yang melakukan pembelian barang yang tergolong sangat mewah.

5.    Setiap WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha yang berbeda dengan domisili WP, selain wajib memiliki Nomor Pokok WP domisili juga wajib mempunyai Nomor Pokok WP lokasi. Ketentuan ini untuk mencegah WP yang berusaha mengindari pembayaran pajak dengan cara berpindah-pindah tempat usaha.

6.    Perlakuan perpajakan terhadap Kontrak Investasi Kolektif (KIK) disamakan dengan firma/kongsi.


Objek Pajak :
a)    Transaksi derivatif tertentu yang diperdagangkan di bursa dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat khusus berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2). Ketentuan ini untuk memberikan kemudahan administrasi dan kesederhanaan.
Dividen yang diterima oleh WP orang pribadi dikenakan PPh yang bersifat khusus berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) sebesar 15% final. Ketentuan ini memberikan insentif keringanan PPh atas dividen dan kesederhanaan administrasi bagi WP dan DJP. Selain itu, hal ini juga untuk mendorong perusahaan agar mendistribusikan penghasilannya kepada para pemegangsaham.

b)    Bunga dari Surat Utang Negara (SUN) yang diperdagangkan di bursa dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 20% yang bersifat final (Pasal 4 ayat (2)). Ketentuan ini untuk menegaskan perlakuan yang sama dengan bunga dari obligasi.

c)    Surplus Bank Indonesia merupakan sebagai objek pajak

d)    Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan formal dan atau bidang penelitian dan pengembangan, yang ditanamkan  kembali paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun dikecualikan sebagai Objek Pajak yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

e)    Memperluas pengertian pengalihan harta sebagai objek pajak sehingga mencakup penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pengalihan hak /interest di bidang pertambangan termasuk Panas Bumi (capital gain dari farm in farm out).

f)      Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana merupakan objek pajak (penghapusan Pasal 4 ayat (3) huruf j).

g)    Penegasan pengertian royalti sehingga mencakup pembayaran atas hak siar, penggunaan bandwith, dan hak lain. Ketentuan ini untuk memberikan dasar hukum yang lebih kuat dalam hal pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas berbagai jenis pembayaran royalti yang selama ini belum diatur secara tegas.

h)    Penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga didasarkan pada saat pembayaran atau pada saat jatuh tempo.

i)       Bagian laba yang diterima atau diperoleh pemegang unit penyertaan Kontrak Investasi Kolektif  dikecualikan sebagai objek pajak.

j)       Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur oleh Menteri Keuangan dikecualikan sebagai objek pajak.

k)     Bantuan atau santunan yang diterima dari BPJS bukan merupakan Objek Pajak, yang ketentuannya lebih lanjut diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

l)       Imbalan bunga sehubungan dengan keputusan keberatan dan keputusan banding merupakan objek pajak.

Pengurang Penghasilan Bruto
1)    Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa yang diberikan kepada WP tertentu (misalnya pelajar, mahasiswa) dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Ketentuan ini ditujukan mendukung program pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan.

2)    Pembentukan Dana Cadangan Piutang Tak Tertagih juga diperkenankan bagi badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, perusahaan anjak piutang, cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Cadangan Penjaminan yang dibentuk oleh  Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

3)    Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dapat dibiayakan. Untuk mendorong semangat kebersamaan dan sikap saling tolong menolong.

4)    Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang pengaturannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dapat dibiayakan.


5)    Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dapat dibiayakan;

6)    Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dapat biayakan.

7)    Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dapat dibiayakan.

8)    Menaikkan Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


9)    Seiring dengan perkembangan perekonomian, besarnya jumlah PTKP perlu dinaikkan sehingga menjadi sebagai berikut:
Rp12.000.000,00 untuk diri WP orang pribadi.
Rp1.200.000,00 untuk WP kawin.
Rp12.000.000,00 untuk Istri berusaha.
Rp1.200.000,00 untuk setiap tanggungan (maksimum dengan 3 (tiga) tanggungan = Rp16.800.000,00/tahun).

10)          Peningkatan besarnya PTKP ini ditujukan untuk: Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dapat dibiayakan. Untuk mendorong semangat kebersamaan dan sikap saling tolong menolong. Peningkatan

11)          besarnya PTKP ini ditujukan untuk: Menyesuaikan dengan kebutuhan hidup yang semakin  meningkat; Menampung ketentuan Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah atas penghasilan pekerja (saat ini diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47/2003) yang akan dihapus ketika UU ini berlaku.

12)          Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang pengaturannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dapat dibiayakan.

13)          Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dapat dibiayakan;


14)          Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dapat biayakan.

15)          Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dapat dibiayakan.
 

Norma Penghitungan
1)    Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Cara Lain dalam Menghitung Peredaran Bruto :
WP orang pribadi yang memenuhi kriteria jumlah peredaran bruto dalam satu tahun kurang  dari Rp1,8 milyar, dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
2)    WP yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 28 dan/atau Pasal 29 UU KUP serta tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5), penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Tarif Pajak
Untuk mendorong investasi dan menyesuaikan dengan perkembangan tarif pajak di negara-negara tetangga, lapisan tarif PPh orang pribadi disederhanakan dan ditetapkan tarif tunggal bagi WP badan sehingga tarif PPh Pasal 17 diusulkan menjadi sebagai berikut:
a. Tarif Umum yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) WP orang pribadi:
Lapisan Penghasilan Tarif Sampai denganRp50.000.000,00 5%
Di atas Rp50.000.000,00 - s.d. Rp100.000.000,00 15%
Di atas Rp100.000.000,00 - s.d. Rp200.000.000,00 25%
Di atas Rp200.000.000,00 35%
Tarif tertinggi diturunkan menjadi 33% pada tahun pajak 2007
dan menjadi 30% pada tahun 2010.

b. Tarif Umum yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) WP badan adalah tarif tunggal, yaitu sebesar 30%. Tarif ini turun menjadi 28% pada pajak 2007 dan menjadi 25% pada tahun 2010.

Ketentuan Penghindaran Pajak
1)    WP yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (Special Purpose Company), dapat ditetapkan sebagai  pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang WP yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga;

2)    Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (Conduit Company atau Special Purpose Company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia;

3)    Besarnya penghasilan yang diperoleh WP orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yangmemiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan WP orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk  biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.




Pasal 21
a. Tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk WP yang tidak ber-NPWP lebih besar  20% dari tarif bagi WP yang ber-NPWP.

b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditiadakan, SPT Masa BulanDesember menggantikan SPT Tahunan.

Pasal 22
a. Tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk WP yang tidak ber-NPWP lebih besar 100% dari tarif bagi WP yang ber-NPWP.

b. WP yang membeli barang tergolong sangat mewah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.

Pasal 23
a. Tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 dibedakan sehingga menjadi
* 15% untuk WP ber-NPW
* 30% untuk WP yang tidak ber-NPWP.

Mempertegas definisi saat terutang pada penjelasan Pasal 23 ayat (1) yaitu pada saat jatuh tempo. Penghasilan yang diterima oleh jasa keuangan yang dilakukan oleh bank dan jasa yang sama yang dilakukan oleh WP bukan bank yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan tidak dipotong Pajak Penghasilan, tetapi pembayaran pajaknya melalui angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25. (Pasal 23 (4) a).

Pasal 26
1.    memperluas Objek Pajak PPh Pasal 26 meliputi penghasilan berupa pembebasan utang
2.    Premi Swap bukan merupakan bunga peminjaman uang, akan tetapi merupakan Objek Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan kelompok tersendiri.
3.    Memperluas cakupan Pasal 26 ayat (2) yang sebelumnya hanya mengatur penghasilan dari penjualan harta menjadi penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta.
4.    Penghasilan dari pengalihan saham perusahaan antara (conduit/ dummy company) yang didirikan atau berkedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang memiliki hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia, yang diperoleh WP luar negeri dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 (Pasal 26 ayat (2a).

  Pasal 25
1)    Pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk perusahaan masuk bursa (gopublic) dan perusahaan yang diwajibkan membuat laporan triwulanan mengikuti laporan triwulanannya.

2)    Setiap gerai (outlet) usaha dari WP orang pribadi pengusaha tertentu wajib membayar angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk masing-masing gerai. Juga bagi WP orang pribadi pengusaha tertentu yang hanya memiliki satu gerai (outlet) yang lokasinya berbeda dari domisilinya.

3)    Ketentuan pembayaran Fiskal Luar Negeri bagi WP orang pribadi yang akan berangkat ke luar negeri dihapuskan pada 2010.

Pasal 29
Kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.

Fasilitas Pajak
Kepada WP yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atas di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, dapat  diberikan fasilitas perpajakan.
§        Menghapus Pasal 31B tentang fasilitas pajak dalam rangka restrukturisasi melalui Prakarsa Jakarta karena fasilitas tersebut telah berakhir pada 2002.
§        Ketentuan Bagi Hasil PPh Pasal 21 dan WP orang pribadi dalam negeri (Pasal 31C ayat (2)) dihapus
§        Ketentuan perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
§        Untuk mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah dapat diberikan fasilitas perpajakan khusus yang diatur dengan Peraturan Pemerintah

Thursday, 1 March 2012

PPN : PERUBAHAN


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa yang merupakan obyek dari PPN

Dalam rangka menjawab perubahan-perubahan yang sangat cepat tersebut, maka perlu dilakukan penyesuaian dan penyempurnaan atas UU PPN dan PPnBM :

Rancangan Perubahan UU PPN dan PPn BM ini bertujuan untuk:
·        Memberikan kepastian hukum. Penegasan perlakuan pengenaan PPN atas suatu obyek diharapkan dapat memberikan kepastian dalam pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak (WP)

·        Menyederhanakan sistem PPN. Penyederhanaan sistem PPN dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam UU PPN dan PPn BM yang menyulitkan WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

·        Mengurangi Biaya Kepatuhan. Penyederhanaan sistem PPN diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi bagi WP dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi kepatuhan WP

·        Meningkatkan Kepatuhan WP. Tercapainya tujuan-tujuan tersebut di atas, diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela WP. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya tax ratio.

Pokok-pokok Perubahan

A. Objek Pajak
1. Penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan usaha.
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dalam rangka penggabungan usaha menurut ketentuan UU PPN saat ini terutang PPN. Namun, untuk membantu cash flow perusahaan, memberikan kemudahan administrasi, dan mendorong Pengusaha untuk bergabung dengan harapan untuk memperbaiki kinerja perusahaan, maka penyerahan BKP yang dilakukan dalam rangka penggabungan usaha (merger) dalam RUU PPN tidak dikenakan PPN, sepanjang pihak-pihak yang melakukan penggabungan usaha (merger) adalah Pengusaha Kena Pajak.

2. Ekspor Jasa Kena Pajak (JKP)/ Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud.
UU PPN saat ini hanya mengenal ekspor BKP. Untuk menetralkan pembebanan PPN dan menambah daya saing kegiatan jasa yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Indonesia di Luar Daerah Pabean, maka atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud dalam RUU PPN dikenakan tarif 0%.

3. Penyerahan Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
Dalam rangka memperluas basis pemajakan dalam RUU PPN dipertegas pengenaan PPN atas:
persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak; kecuali atas aktiva yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan, yaitu aktiva yang tidak mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha, sedan dan station wagon.

4. Barang Hasil Pertanian.
Untuk melindungi barang pertanian dalam negeri dan menjamin pasokan bahan baku bagi industri pengolahan barang hasil pertanian, serta petani diharapkan mendapat hasil yang lebih baik, maka barang hasil pertanian yang diambil langsung dari sumbernya ditetapkan menjadi Bukan Barang Kena Pajak dalam RUU PPN.

5. Jasa di Bidang Keuangan.
Saat ini dalam UU PPN dan PPn BM diatur bahwa jasa di bidang perbankan yaitu jasa yang dilakukan oleh perbankan sesuai dengan UU Perbankan ditetapkan sebagai jenis jasa yang tidak dikenakan PPN.
Dalam praktiknya, perbankan juga melakukan kegiatan usaha di luar jasa keuangan yang merupakan obyek PPN, seperti jasa konsultasi, jasa broker saham dan obligasi, serta jasa manajemen. Sedangkan di lain pihak, terdapat WP bukan perbankan yang melakukan kegiatan seperti yang dilakukan oleh perbankan, misalnya utang piutang dan transfer uang.
Disamping itu, kegiatan usaha perbankan syariah yang pada prinsipnya adalah kegiatan usaha financing belum diatur dalam UU yang berlaku saat ini. Oleh sebab itu, dalam RUU PPN dipertegas bahwa jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun termasuk perbankan syariah tidak dikenakan PPN, sehingga tidak ada perbedaan perlakuan bagi WP yang berbeda status tetapi melakukan kegiatan usaha yang sama.

6. Jasa-jasa Tertentu.
Beberapa jenis jasa yang sekarang dikenakan PPN yaitu jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, jasa di bidang penyediaan tempat parkir, jasa pengiriman uang dengan wesel pos diusulkan untuk ditetapkan sebagai jenis jasa yang tidak dikenakan PPN dalam RUU PPN.
Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ini disebabkan jenis-jenis jasa tersebut sulit untuk dikenakan PPN, menghindari duplikasi pengenaan pajak atas objek yang sama dan merupakan jasa keuangan.

7. Pertambangan Umum
Barang hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya saat ini tidak dikenakan PPN. Mengingat bahwa untuk menghasilkan barang hasil pertambangan yang siap jual memerlukan proses produksi yang sedemikian rupa dan dengan harapan bahwa barang hasil pertambangan umum dapat bersaing di pasar internasional, maka dalam RUU PPN barang hasil pertambangan umum diusulkan untuk ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak.

8. Penyerahan Piutang dan Agunan dalam rangka Sekuritisasi Asset.
Untuk mendorong program pemerintah dalam rangka skema Secondary Mortgage Fasility (SMF) ataupun securitisasi piutang beragun aset, maka dalam RUU PPN ditetapkan bahwa jasa anjak piutang yang diberikan oleh Secondary Mortage Company (SMC) pada skema SMF dan Special Purpose Vehicle (SPV) dalam rangka Sekuritisasi sebagai jasa yang tidak dikenakan PPN.




B. Restitusi

1. Restitusi Umum.
Sesuai dengan mekanisme PPN, pada umumnya Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor (BKP atau JKP), yang melakukan penyerahan kepada pemungut PPN, yang melakukan penyerahan yang PPNnya tidak dipungut, yang melakukan penyerahan JKP dalam rangka menghasilkan dan melakukan ekspor BKP atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean, mengalami kelebihan pembayaran pajak untuk setiap Masa Pajak. Oleh karena itu, permohonan restitusi Pajak Masukan di setiap Masa Pajak dapat diajukan oleh para Pengusaha Kena Pajak di atas.
Disamping itu, dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap WP yang telah ditetapkan sebagai WP Patuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C UU tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, kepada WP ini juga diberikan kemudahan untuk mengajukan restitusi di setiap Masa Pajak.
Untuk Pengusaha Kena Pajak lainnya yang mengalami kelebihan pembayaran pajak yang antara lain disebabkan oleh penumpukan barang dagangan dan pembelian barang dalam rangka investasi, maka kelebihan pembayaran pajak tersebut sudah sewajarnya dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Namun demikian untuk membantu cash flow, kelebihan pembayaran pajak tersebut dapat diajukan permohonan restitusi pada akhir tahun buku.

2. Restitusi untuk Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri.
Dengan pertimbangan bahwa barang bawaan yang dibawa keluar Daerah Pabean oleh orang asing yang bukan penduduk Indonesia merupakan barang yang akan dikonsumsi di luar negeri dan untuk menarik wisatawan manca negara berkunjung ke Indonesia, maka sudah sewajarnya PPN dan PPn BM yang dibayar oleh orang asing tersebut atas barang-barang yang dibawanya ke luar negeri diberikan pengembalian.
Oleh karena itu, dalam RUU PPN diatur pemberian pengembalian PPN dan PPn BM atas barang bawaan yang dibawa ke luar daerah pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri, dengan syarat nilai PPN minimal sebesar Rp500.000.





C. Faktur Pajak

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang diterbitkan atas penyerahan BKP dan atau JKP. Beberapa hal berkenaan dengan penerbitan Faktur Pajak diberikan kemudahan, kesederhanaan dan kepastian hukum dalam RUU PPN ini, yaitu:
·        Hanya akan dikenal satu jenis Faktur Pajak yang menggantikan Faktur Pajak yang saat ini dikenal yaitu Faktur Pajak Standar dan Faktur Pajak Sederhana.
·        Penghapusan sanksi administrasi bagi Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak, berupa: identitas pembeli, atau identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan (untuk penyerahan oleh pedagang eceran).

Retur PPN Jasa Kena Pajak
·        Seperti halnya Barang Kena Pajak, PPN atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan/dikembalikan seharusnya dapat dikurangkan dari PPN yang terutang dalam suatu Masa Pajak.
·        Oleh karena itu, agar paralel dengan perlakuan pengembalian (retur) Barang Kena Pajak, dalam RUU PPN diberikan pengaturan bahwa PPN yang sudah dipungut atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan/dikembalikan sebagian atau seluruhnya, dapat dikembalikan (diretur).

·        Pengkreditan Pajak Masukan
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Oleh karena itu, dalam RUU PPN perlu dipertegas syarat-syarat pengkreditan Faktur Pajak sbb.:
a. Untuk lebih memberikan rasa keadilan, maka Pajak Masukan yang dapat dikreditkan harus merupakan Pajak Masukan yang sudah dibayar dan bukan yang seharusnya sudah dibayar.

b. Untuk mencegah penggunaan Faktur Pajak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dalam UU perlu dipertegas bahwa selain pemenuhan syarat formal Faktur Pajak, maka suatu Pajak Masukan untuk dapat dikreditkan harus juga memenuhi syarat material, yaitu adanya penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan yang tercantum dalam Faktur Pajak.
c. Pengusaha Kena Pajak yang masih dalam tahap belum berproduksi, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan hanya Pajak Masukan atas perolehan barang modal. Apabila Pajak Masukan yang dikreditkan tersebut kemudian direstitusi oleh PKP dan PKP yang bersangkutan mengalami kegagalan dalam berproduksi, maka PPN yang sudah direstitusi akan ditagih kembali.

Deemed Pajak Masukan
Untuk lebih memberikan kepastian hukum serta memberikan kemudahan kepada Pengusaha Kena Pajak tertentu yang mengalami kesulitan mengikuti mekanisme PK-PM secara normal, atau mengalami kesulitan dalam menghitung PPN yang harus dibayar, misalnya Pedagang Eceran, maka dalam RUU PPN diberikan pengaturan mengenai penggunaan deemed Pajak Masukan, yaitu pedoman untuk menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.

Tempat Pajak Terutang
Dalam ketentuan sekarang, syarat untuk dapat dilakukan pemusatan tempat pajak terutang adalah:
1. kegiatan penyerahan BKP atau JKP untuk semua tempat kegiatan usaha hanya dilakukan oleh  
    satu atau lebih tempat kegiatan usaha;
2. administrasi penjualan dan administrasi keuangan diselenggarakan secara terpusat pada satu
    atau lebih tempat kegiatan usaha.
3. Pemberian ijin pemusatan diberikan berdasarkan pemeriksaan.

Dalam rangka mengurangi beban administrasi WP, maka dilakukan pengaturan kembali mengenai pemusatan tempat pajak terutang, yaitu:
a. bahwa administrasi penjualan dan administrasi keuangan diselenggarakan secara terpusat  pada satu atau lebih tempat kegiatan usaha.

b. Pemberian ijin pemusatan diberikan berdasarkan penelitian.

Saat Terutang Pajak atas Transaksi Leasing
Transaksi leasing dengan hak opsi menjadi berkembang sedemikian pesat dan menimbulkan variasi transaksi yang baru, sehingga terlalu rigid apabila saat terutangnya pajak diatur dalam UU. Oleh karena itu, dalam RUU PPN ketentuan saat terutangnya PPN atas pengalihan Barang Kena Pajak karena perjanjian leasing dihapus dari UU dan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Keuangan.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah
a.
Dengan tujuan untuk memberikan ruang kepada Pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi regulasinya, maka tarif tertinggi PPn BM dinaikkan dari 75% menjadi 200%.

b. Mengingat bahwa pengenaan PPn BM ditujukan untuk mengurangi regresifitas pengenaan PPN, maka definisi dari Barang Mewah untuk membatasi konsumsi BKP tertentu dihapus dari pengertian Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah.

Fasilitas Perpajakan
Untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi pemberian fasilitas perpajakan yang belum diatur dalam UU antara lain :
·        PPN dan PPn BM dibebaskan bagi perwakilan negara asing,
·        PPN dan PPn BM tidak dipungut atas impor barang yang Bea Masuknya dibebaskan berdasarkan UU Kepabeanan danImpor dan penyerahan BKP/JKP dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai bantuan luar negeri, maka dalam RUU PPN diatur dasar hukum pemberian fasilitas tersebut.
·        Disamping itu, dalam RUU diatur pemberian fasilitas pembebasan PPN bagi listrik dan air yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan fasilitas bagi kegiatan penanggulangan bencana alam nasional.