Thursday, 1 March 2012

PPN : PERUBAHAN


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat terhadap barang dan jasa yang merupakan obyek dari PPN

Dalam rangka menjawab perubahan-perubahan yang sangat cepat tersebut, maka perlu dilakukan penyesuaian dan penyempurnaan atas UU PPN dan PPnBM :

Rancangan Perubahan UU PPN dan PPn BM ini bertujuan untuk:
·        Memberikan kepastian hukum. Penegasan perlakuan pengenaan PPN atas suatu obyek diharapkan dapat memberikan kepastian dalam pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak (WP)

·        Menyederhanakan sistem PPN. Penyederhanaan sistem PPN dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam UU PPN dan PPn BM yang menyulitkan WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

·        Mengurangi Biaya Kepatuhan. Penyederhanaan sistem PPN diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi bagi WP dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi kepatuhan WP

·        Meningkatkan Kepatuhan WP. Tercapainya tujuan-tujuan tersebut di atas, diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela WP. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya tax ratio.

Pokok-pokok Perubahan

A. Objek Pajak
1. Penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan usaha.
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dalam rangka penggabungan usaha menurut ketentuan UU PPN saat ini terutang PPN. Namun, untuk membantu cash flow perusahaan, memberikan kemudahan administrasi, dan mendorong Pengusaha untuk bergabung dengan harapan untuk memperbaiki kinerja perusahaan, maka penyerahan BKP yang dilakukan dalam rangka penggabungan usaha (merger) dalam RUU PPN tidak dikenakan PPN, sepanjang pihak-pihak yang melakukan penggabungan usaha (merger) adalah Pengusaha Kena Pajak.

2. Ekspor Jasa Kena Pajak (JKP)/ Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud.
UU PPN saat ini hanya mengenal ekspor BKP. Untuk menetralkan pembebanan PPN dan menambah daya saing kegiatan jasa yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Indonesia di Luar Daerah Pabean, maka atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud dalam RUU PPN dikenakan tarif 0%.

3. Penyerahan Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
Dalam rangka memperluas basis pemajakan dalam RUU PPN dipertegas pengenaan PPN atas:
persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak; kecuali atas aktiva yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan, yaitu aktiva yang tidak mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha, sedan dan station wagon.

4. Barang Hasil Pertanian.
Untuk melindungi barang pertanian dalam negeri dan menjamin pasokan bahan baku bagi industri pengolahan barang hasil pertanian, serta petani diharapkan mendapat hasil yang lebih baik, maka barang hasil pertanian yang diambil langsung dari sumbernya ditetapkan menjadi Bukan Barang Kena Pajak dalam RUU PPN.

5. Jasa di Bidang Keuangan.
Saat ini dalam UU PPN dan PPn BM diatur bahwa jasa di bidang perbankan yaitu jasa yang dilakukan oleh perbankan sesuai dengan UU Perbankan ditetapkan sebagai jenis jasa yang tidak dikenakan PPN.
Dalam praktiknya, perbankan juga melakukan kegiatan usaha di luar jasa keuangan yang merupakan obyek PPN, seperti jasa konsultasi, jasa broker saham dan obligasi, serta jasa manajemen. Sedangkan di lain pihak, terdapat WP bukan perbankan yang melakukan kegiatan seperti yang dilakukan oleh perbankan, misalnya utang piutang dan transfer uang.
Disamping itu, kegiatan usaha perbankan syariah yang pada prinsipnya adalah kegiatan usaha financing belum diatur dalam UU yang berlaku saat ini. Oleh sebab itu, dalam RUU PPN dipertegas bahwa jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun termasuk perbankan syariah tidak dikenakan PPN, sehingga tidak ada perbedaan perlakuan bagi WP yang berbeda status tetapi melakukan kegiatan usaha yang sama.

6. Jasa-jasa Tertentu.
Beberapa jenis jasa yang sekarang dikenakan PPN yaitu jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, jasa di bidang penyediaan tempat parkir, jasa pengiriman uang dengan wesel pos diusulkan untuk ditetapkan sebagai jenis jasa yang tidak dikenakan PPN dalam RUU PPN.
Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ini disebabkan jenis-jenis jasa tersebut sulit untuk dikenakan PPN, menghindari duplikasi pengenaan pajak atas objek yang sama dan merupakan jasa keuangan.

7. Pertambangan Umum
Barang hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya saat ini tidak dikenakan PPN. Mengingat bahwa untuk menghasilkan barang hasil pertambangan yang siap jual memerlukan proses produksi yang sedemikian rupa dan dengan harapan bahwa barang hasil pertambangan umum dapat bersaing di pasar internasional, maka dalam RUU PPN barang hasil pertambangan umum diusulkan untuk ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak.

8. Penyerahan Piutang dan Agunan dalam rangka Sekuritisasi Asset.
Untuk mendorong program pemerintah dalam rangka skema Secondary Mortgage Fasility (SMF) ataupun securitisasi piutang beragun aset, maka dalam RUU PPN ditetapkan bahwa jasa anjak piutang yang diberikan oleh Secondary Mortage Company (SMC) pada skema SMF dan Special Purpose Vehicle (SPV) dalam rangka Sekuritisasi sebagai jasa yang tidak dikenakan PPN.




B. Restitusi

1. Restitusi Umum.
Sesuai dengan mekanisme PPN, pada umumnya Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor (BKP atau JKP), yang melakukan penyerahan kepada pemungut PPN, yang melakukan penyerahan yang PPNnya tidak dipungut, yang melakukan penyerahan JKP dalam rangka menghasilkan dan melakukan ekspor BKP atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean, mengalami kelebihan pembayaran pajak untuk setiap Masa Pajak. Oleh karena itu, permohonan restitusi Pajak Masukan di setiap Masa Pajak dapat diajukan oleh para Pengusaha Kena Pajak di atas.
Disamping itu, dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap WP yang telah ditetapkan sebagai WP Patuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C UU tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, kepada WP ini juga diberikan kemudahan untuk mengajukan restitusi di setiap Masa Pajak.
Untuk Pengusaha Kena Pajak lainnya yang mengalami kelebihan pembayaran pajak yang antara lain disebabkan oleh penumpukan barang dagangan dan pembelian barang dalam rangka investasi, maka kelebihan pembayaran pajak tersebut sudah sewajarnya dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Namun demikian untuk membantu cash flow, kelebihan pembayaran pajak tersebut dapat diajukan permohonan restitusi pada akhir tahun buku.

2. Restitusi untuk Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri.
Dengan pertimbangan bahwa barang bawaan yang dibawa keluar Daerah Pabean oleh orang asing yang bukan penduduk Indonesia merupakan barang yang akan dikonsumsi di luar negeri dan untuk menarik wisatawan manca negara berkunjung ke Indonesia, maka sudah sewajarnya PPN dan PPn BM yang dibayar oleh orang asing tersebut atas barang-barang yang dibawanya ke luar negeri diberikan pengembalian.
Oleh karena itu, dalam RUU PPN diatur pemberian pengembalian PPN dan PPn BM atas barang bawaan yang dibawa ke luar daerah pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri, dengan syarat nilai PPN minimal sebesar Rp500.000.





C. Faktur Pajak

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang diterbitkan atas penyerahan BKP dan atau JKP. Beberapa hal berkenaan dengan penerbitan Faktur Pajak diberikan kemudahan, kesederhanaan dan kepastian hukum dalam RUU PPN ini, yaitu:
·        Hanya akan dikenal satu jenis Faktur Pajak yang menggantikan Faktur Pajak yang saat ini dikenal yaitu Faktur Pajak Standar dan Faktur Pajak Sederhana.
·        Penghapusan sanksi administrasi bagi Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak, berupa: identitas pembeli, atau identitas pembeli, serta nama dan tanda tangan (untuk penyerahan oleh pedagang eceran).

Retur PPN Jasa Kena Pajak
·        Seperti halnya Barang Kena Pajak, PPN atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan/dikembalikan seharusnya dapat dikurangkan dari PPN yang terutang dalam suatu Masa Pajak.
·        Oleh karena itu, agar paralel dengan perlakuan pengembalian (retur) Barang Kena Pajak, dalam RUU PPN diberikan pengaturan bahwa PPN yang sudah dipungut atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan/dikembalikan sebagian atau seluruhnya, dapat dikembalikan (diretur).

·        Pengkreditan Pajak Masukan
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Oleh karena itu, dalam RUU PPN perlu dipertegas syarat-syarat pengkreditan Faktur Pajak sbb.:
a. Untuk lebih memberikan rasa keadilan, maka Pajak Masukan yang dapat dikreditkan harus merupakan Pajak Masukan yang sudah dibayar dan bukan yang seharusnya sudah dibayar.

b. Untuk mencegah penggunaan Faktur Pajak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dalam UU perlu dipertegas bahwa selain pemenuhan syarat formal Faktur Pajak, maka suatu Pajak Masukan untuk dapat dikreditkan harus juga memenuhi syarat material, yaitu adanya penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan yang tercantum dalam Faktur Pajak.
c. Pengusaha Kena Pajak yang masih dalam tahap belum berproduksi, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan hanya Pajak Masukan atas perolehan barang modal. Apabila Pajak Masukan yang dikreditkan tersebut kemudian direstitusi oleh PKP dan PKP yang bersangkutan mengalami kegagalan dalam berproduksi, maka PPN yang sudah direstitusi akan ditagih kembali.

Deemed Pajak Masukan
Untuk lebih memberikan kepastian hukum serta memberikan kemudahan kepada Pengusaha Kena Pajak tertentu yang mengalami kesulitan mengikuti mekanisme PK-PM secara normal, atau mengalami kesulitan dalam menghitung PPN yang harus dibayar, misalnya Pedagang Eceran, maka dalam RUU PPN diberikan pengaturan mengenai penggunaan deemed Pajak Masukan, yaitu pedoman untuk menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.

Tempat Pajak Terutang
Dalam ketentuan sekarang, syarat untuk dapat dilakukan pemusatan tempat pajak terutang adalah:
1. kegiatan penyerahan BKP atau JKP untuk semua tempat kegiatan usaha hanya dilakukan oleh  
    satu atau lebih tempat kegiatan usaha;
2. administrasi penjualan dan administrasi keuangan diselenggarakan secara terpusat pada satu
    atau lebih tempat kegiatan usaha.
3. Pemberian ijin pemusatan diberikan berdasarkan pemeriksaan.

Dalam rangka mengurangi beban administrasi WP, maka dilakukan pengaturan kembali mengenai pemusatan tempat pajak terutang, yaitu:
a. bahwa administrasi penjualan dan administrasi keuangan diselenggarakan secara terpusat  pada satu atau lebih tempat kegiatan usaha.

b. Pemberian ijin pemusatan diberikan berdasarkan penelitian.

Saat Terutang Pajak atas Transaksi Leasing
Transaksi leasing dengan hak opsi menjadi berkembang sedemikian pesat dan menimbulkan variasi transaksi yang baru, sehingga terlalu rigid apabila saat terutangnya pajak diatur dalam UU. Oleh karena itu, dalam RUU PPN ketentuan saat terutangnya PPN atas pengalihan Barang Kena Pajak karena perjanjian leasing dihapus dari UU dan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Keuangan.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah
a.
Dengan tujuan untuk memberikan ruang kepada Pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi regulasinya, maka tarif tertinggi PPn BM dinaikkan dari 75% menjadi 200%.

b. Mengingat bahwa pengenaan PPn BM ditujukan untuk mengurangi regresifitas pengenaan PPN, maka definisi dari Barang Mewah untuk membatasi konsumsi BKP tertentu dihapus dari pengertian Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah.

Fasilitas Perpajakan
Untuk lebih memberikan kepastian hukum bagi pemberian fasilitas perpajakan yang belum diatur dalam UU antara lain :
·        PPN dan PPn BM dibebaskan bagi perwakilan negara asing,
·        PPN dan PPn BM tidak dipungut atas impor barang yang Bea Masuknya dibebaskan berdasarkan UU Kepabeanan danImpor dan penyerahan BKP/JKP dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai bantuan luar negeri, maka dalam RUU PPN diatur dasar hukum pemberian fasilitas tersebut.
·        Disamping itu, dalam RUU diatur pemberian fasilitas pembebasan PPN bagi listrik dan air yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan fasilitas bagi kegiatan penanggulangan bencana alam nasional.

No comments:

Post a Comment