Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Istilah PPN sering didengar ketika kita
sedang melakukan transaksi pembelian barang atau jasa dengan orang pribadi
maupun badan. PPN merupakan jenis pajak tidak langsung untuk disetor oleh pihak
lain (pedagang) yang bukan merupakan penanggung pajak (konsumen akhir). Prinsip
dasarnya adalah suatu pajak yang harus dikenakan pada setiap proses produksi
dan distribusi akan tetapi jumlah pajak yang terutang dibebankan kepada
konsumen akhir yang memakai produk tersebut.
Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
·
Penyerahan
Barang Kena Pajak (BPK) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha
·
Impor
Barang Kena Pajak
·
Pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
·
Pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
·
Ekspor
Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang Dasar No.42 tahun
2009 pasal 7 :
1.
Tarif
Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
2.
Tarif
Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
·
Ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud
·
Ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
·
Ekspor
Jasa Kena Pajak
3.
Tarif
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling rendah 5%
(lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimana
diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Pengusaha Kena Pajak Sebagai Pihak yang Menyetor dan Melaporkan PPN
PPN memiliki peranan strategis dan
signifikan dalam posisi penerimanaan negara dari sektor perpajakkan. Oleh
karena itu para pengusaha di Indonesia wajib melaporkan usahanya agar segera
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Kewajiban melaporkan usaha
tersebut harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan
terjadinya jumlah penjualan barang atau jasa kena pajak melebihi Rp. 4.8 M
sesuai dengan ketentuan PMK No.197/PMK.03/2013. Jika pengusaha tidak dapat
mencapai Rp. 4.8 M maka pengusaha dapat langsung mencabut permohonan pengukuhan
sebagai PKP.
Dengan menjadi PKP pengusaha wajib
memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang. Dalam perhitungan PPN
yang wajib disetor oleh PKP, disebut dengan pajak keluaran dan pajak masukan.
Pajak keluaran ialah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan
pajak masukan ialah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh maupun
membuat produknya.
Pajak Masukan, Pajak Keluaran dan Faktur Pajak
KARAKTERISTIK
PAJAK KELUARAN
Pajak
keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan penjualan
terhadap barang kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP) yang tergolong
dalam barang mewah. Sebagai salah satu jenis pajak, Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) seringkali disebut sebagai pajak objektif. Pada PPN, hal yang pertama
kali ditekankan adalah objek pajak yang akan dikenakan. Kemudian, subjek pajak
yang terkena. Misalnya, barang-barang mewah, kendaraan mewah, dan sebagainya.
Yang pertama dikenakan adalah tarif pada tiap-tiap barang tersebut. Kemudian,
barulah wajib pajak pengonsumsi barang tersebut yang dikenai beban pajaknya
sehingga wajib pajak tersebut disebut sebagai subjek pajak.
Dalam
pengenaan pajak terhadap subjek pajak tersebut, terdapat dua kategori. Yaitu,
pajak keluaran dan pajak masukan. Dalam hal ini, subjek pajak yang
dimaksud adalah pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan transaksi jual beli
barang. Artinya, PKP mengambil atau memungut rupiah yang dihasilkan dari
penjualan barang kena pajak (BKP) miliknya yang dibeli konsumen. Kemudian,
nantinya dapat berfungsi menjadi kredit atau pengurang pajak. Menjadi kredit
atau pengurang pajak karena sebelumnya sang PKP telah dikenai tarif pajak yang
sama atas pembelian barang tersebut yang d kemudian hari dijual olehnya. Jadi,
PPN dalam hal ini hanya terjadi pelimpahan beban.
Adapun
batas waktu untuk melakukan pengkreditan pajak keluaran tersebut adalah tiga
bulan setelah masa pajak berakhir sehingga PKP memiliki waktu yang cukup
leluasa untuk melakukan pengkreditan pajaknya.
KARAKTERISTIK
PAJAK MASUKAN
Pajak
masukan adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak melakukan
pembelian terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak. Pengusaha Kena
Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak
termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
Tata
cara umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pengusaha kena pajak
mengurangkan atau mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak
keluaran dalam masa pajak yang sama. Apabila dalam masa pajak tersebut lebih
besar pajak keluaran, kelebihan pajak keluaran harus disetorkan ke kas negara.
Sebaliknya, apabila dalam masa pajak tersebut pajak masukan lebih besar dari
pajak keluaran, kelebihan pajak masukan dapat dikompensasikan ke masa pajak
berikutnya atau dimintakan restitusi. Dalam tata cara umum tersebut, jumlah
yang harus dibayarkan oleh pengusaha kena pajak berubah-ubah sesuai dengan
pajak masukan yang dibayarkan dan pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa
pajak.
Mekanisme
Pengkreditan Pajak Masukan
Prinsip
dasar pengkreditan Pajak masukan adalah sebagai berikut:
- Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. (Pasal 9 ayat 2 UU PPN).
- Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. (Pasal 9 ayat 9 UU PPN).
- Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan. (Pasal 9 ayat 2a UU PPN).
- Barang modal adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan termasuk pengeluaran yang dikapitalisasikan ke barang modal tersebut. (PP 1/2012).
- Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9). (Pasal 9 ayat 2a UU PPN).
- Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan / atau JKP harus dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Contoh : alamat di FP sama dg alamat di SK pengukuhan. Dalam hal impor BKP, DJP karena jabatan atau berdasarkan permohonan tertulis dari PKP dapat menentukan tempat lain selain tempat dilakukannya impor BKP sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. (PM dikreditkan di tempat PKP dikukuhkan, Dikukuhkan di beberapa tempat maka dapat memilih). (PP 1/2012).
- Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. (Pasal 9 ayat 3 UU PPN).
- Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya (Pasal 9 ayat 4 UU PPN).
- Atas kelebihan Pajak Masukan tsb dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar). (Pasal 9 ayat 4a UU PPN).
Pajak
Masukan yang tidak dapat dikreditkan sesuai pasal 9 ayat 8 UU PPN adalah atas
pengeluaran sebagai berikut :
- Perolehan BKP/JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan. Contoh : Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
- Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha, oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
- Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
- Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan. Contoh : Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak.
- pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6).
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak. Dalam hal tertentu dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan pajak tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan. Namun apabila pada saat pemeriksaan diketahui adanya perolehan BKP/JKP yang telah dibukukan atau dicatat dalam pembukuan PKP, namun Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima sehingga belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN untuk Masa ybs., maka PM dalam Faktur Pajak tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya Masa Pajak ybs. Contoh : Pemeriksaan SPT Masa Januari 2010 dilakukan tanggal 24 Maret 2010, dan ditemukan FP tanggal 12 Januari 2010 yang baru diterima pada tanggal 22 Maret 2010, dan belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN Januari atau Februari 2010, namun perolehannya sudah dicatat dalam pembukuan, maka Faktur Pajak tertanggal 12 Januari 2010 tersebut tetap dapat dikreditkan dalam Masa PPN Masa Maret atau April 2010.
- Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
- Yang dimaksud dengan “penyerahan yang tidak terutang pajak” adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B. Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.
Pengertian
Faktur Pajak ( Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
- Bukti pungutan pajak (PPN/PPn BM) yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP/JKP ; atau
- Bukti pungutan pajak (PPN/PPn BM) karena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Faktur
Pajak tidak harus dibuat secara khusus atau berbeda dengan Faktur Penjualan,
artinya Faktur Penjualan dapat sekaligus berfungsi sebagai Faktur Pajak.
KETENTUAN
MENGENAI FAKTUR PAJAK SESUAI UU
NO 42 TAHUN 2009 (UU PPN BARU) (Mulai Berlaku 1 April 2010)
- A. Saat Pembuatan Faktur Pajak (Pasal 13 (1a))
- penyerahan Barang Kena Pajak
- penyerahan Jasa Kena Pajak
- ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
- ekspor Jasa Kena Pajak
Faktur Pajak harus dibuat pada: *)
a) saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
b) saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c) saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
d) saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dikecualikan dari ketentuan diatas*), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender. Faktur Pajak tersebut harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.
- B. Syarat Faktur Pajak
a) nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b) nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c) jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f)
kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g)
nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
- C. Sanksi atas Pelanggaran Syarat Formal Faktur Pajak (Pasal 13 (5) Pasal 14 (1)KUP)
PKP
tidak dikenai sanksi apabila menerbitkan Faktur Pajak yang tidak
memuat:
1. Identitas
pembeli; atau
2. Identitas
pembeli, serta nama dan tanda tangan untuk FP yang diterbitkan oleh pedagang
eceran.
Ppn BM
Berdasarkan
undang-undang yang berlaku di Indonesia, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang dilakukan
oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor barang tersebut
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Prinsip dan Pertimbangan Pemungutan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Berikut beberapa pertimbangan mengapa
pemerintah Indonesia menganggap bahwa PPnBM sangatlah penting untuk diterapkan:
·
Agar
tercipta keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan
rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi
·
Untuk
mengendalikan pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
·
Perlindungan
terhada produsen kecil atau tradisional
·
Mengamankan
penerimanaan negara
Prinsip Pemungutan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah ialah hanya 1 (satu) kali saja, yaitu pada saat:
·
Penyerahan
oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
·
Impor
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
Pemungutan PPnBM sama sekali tidak
memperhatikan siapa yang mengimpor maupun seberapa sering produsen atau
pengusaha melakukan impor tersebut (lebih dari sekali atau hanya sekali saja)
Barang-barang yang tergolong mewah dan harus dikenai PPnBM ialah:
·
Barang
yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok
·
Barang
yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
·
Barang
yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
·
Barang
yang dikonsumsi hanya untuk menunjukkan status atau kelas sosial
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 42 Tahun 2009, tarif pajak penjualan atas barang mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi sebesar 200% (dua ratus persen). Jika pengusaha melakukan ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah maka akan dikenai pajak dengan tarif sebesar 0% (nol persen).
Objek Pajak Penjualan
atas Barang Mewah
a. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh
persen), adalah :
- kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, dan pesawat penerima siaran televisi;
- kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga;
- kelompok mesin pengatur suhu udara;
- kelompok alat perekam atau reproduksi gambar, pesawat penerima siaran radio;
- kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapannya.
b. Kelompok Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah:
- kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, selain yang disebut pada huruf a;
- kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya;
- kelompok pesawat penerima siaran televisi dan antena serta reflektor antena, selain yang disebut pada huruf a;
- kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring, mesin pengering, pesawat elektromagnetik dan instrumen musik;
- kelompok wangi-wangian;
c. Kelompok Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah:
- kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;
- kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut huruf a.
d.
Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen), adalah :
- kelompok minuman yang mengandung alkohol;
- kelompok barang yang terbuat dari kulit atau kulit tiruan;
- kelompok permadani yang terbuat dari sutra atau wool;
- kelompok barang kaca dari kristal timbal dari jenis yang digunakan untuk meja, dapur, rias, kantor, dekorasi dalam ruangan atau keperluan semacam itu;
- kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam mulia atau dari logam yang dilapisi logam mulia atau campuran daripadanya;
- kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, selain yang disebut pada huruf c, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;
- kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak;
- kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara;
- kelompok jenis alas kaki;
- kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor;
- kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah lempung cina atau keramik;
- Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu selain batu jalan atau batu tepi jalan.
e.
Kelompok Barang kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen), adalah:
- kelompok permadani yang terbuat dari bulu hewan halus;
- kelompok pesawat udara selain yang dimaksud pada huruf d, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga;
- kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut pada huruf a dan huruf c;
- kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara
· kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum.
f. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen), adalah :
- kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi silinder; dan
- kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.
h.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah :
- kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau dengan nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc; dan
- kendaraan bermotor dengan kabin ganda (Double cabin), dalam bentuk kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan semua kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.
i.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah kendaraan bermotor
untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:
- kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc; dan
- kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.
j.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40%
(empat puluh persen), adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa
:
- kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc sampai dengan 3000 cc;
- kendaraan bermotor dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau
- station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 3000 cc; dan
- kendaraan bermotor dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc.
k.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima
puluh persen) adalah semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf.
l.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 60% (enam puluh persen), adalah:
- kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc sampai dengan 500 cc; dan
- kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung, dan kendaraan semacam itu.
m.
Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), adalah :
- kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3000 cc;
- kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel) berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc;
- kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc;
- trailer, semi-trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.
n. Kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah:
- kendaraan bermotor yang digunakan untuk kendaraan ambulan, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, dan kendaraan angkutan umum;
- kendaraan bermotor yang digunakan untuk tujuan protokoler kenegaraan;
- kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang atau lebih termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi silinder, yang digunakan untuk kendaraan dinas TNI atau POLRI;
- kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan patroli TNI atau POLRI.
Perhitungan dan Pelaporan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dihitung dengan cara mengalikan persentase tarif PpnBM dengan nilai Dasar Pengenaan Pajak (harga barang sebelum dikenakan pajak, termasuk PPN). Sedangkan, untuk membuat laporan PpnBM harus menggunakan formulir SPT Masa PPN 1111. Selama masih berada dalam satu periode pajak yang sama, Pajak Penjualan atas Barang Mewah tersebut dapat dilaporkan bersama dengan PPN dan PPN Impor. Pelaporan PpnBM harus segera dilakukan paling lama pada akhir bulan berikutnya setelah tanggal faktur dibuat.
Cara
Menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(PPnBM)
PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Tarif
PPN dan PPnBM
1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif PPN sebesar 0% (sepuluh persen) diterapkan atas:
- ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;
- ekspor BKP Tidak Berwujud; dan
- ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen)
dan paling tinggi 200% (dua
ratus persen).
4. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah
adalah 0% (nol persen).
Dasar
Pengenaan Pajak (DPP)
Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak
yang terutang, berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor,
atau nilai lain yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan
·
Harga
Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP),
tidak termasuk PPN yang dipungut menurut
Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak.
·
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan
Jasa Kena Pajak (JKP),ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut
Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau
nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa
karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud.
·
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak
berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut
Undang-Undang PPN.
·
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh eksportir.
·
Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan
sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan. Nilai lain
yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut :
- untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
- untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
- untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
- untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
- untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
- untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar;
- untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan;
- untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;
- untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
- untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Contoh
PKP “A”
menjual tunai Barang
Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00 Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00 =
Rp2.500.000,00 PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran
yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “A”. 2. PKP “B” melakukan penyerahan Jasa
Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian sebesar
Rp20.000.000,00 PPN yang terutang yang
dipungut oleh PKP “B” = 10% x
Rp20.000.000,00 = Rp 2.000.000,00 PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan
Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “B”. 3. Seseorang
mengimpor Barang Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean dengan Nilai
Impor sebesar Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000,00 = Rp 1.500.000,00 4.
Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena
Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai Impor
sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain
dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%. Penghitungan PPN dan
PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah tersebut adalah: a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00 b. PPN = 10% x Rp5.000.000,00 =
Rp500.000,00 c. PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00 =
Rp1.000.000,00 5. Kemudian PKP “D”
menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian
dari suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10%
dan PPnBM dengan tarif misalnya 35%. Oleh
karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat
dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau
dibebankan sebagai biaya
Misalnya
PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan PPn BM
yang terutang adalah : a. Dasar Pengenaan Pajak
= Rp50.000.000,00 b. PPN = 10% x Rp50.000.000,00 =
Rp5.000.000,00 c. c. PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00 =
Rp17.500.000,00 PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan
pajak masukan bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak
keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak
dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM
sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.
No comments:
Post a Comment